Jagad Media - Lembaga pendidikan, baik formal maupun nonformal, seperti telah sama-sama kita mafhum, adalah sebuah institusi yang di dalamnya berkutat pihak-pihak, pun pribadi-pribadi yang mengajarkan dan menularkan kebaikan-kebaikan; meneteskan dan menitiskan berbagai pengetahuan dan ilmu yang berguna, berfaedah, bermanfaat untuk kum keseluruhan umat manusia pada umumnya, atau paling tidak, untuk pribadi masing-masing, khususnya. Demikian sebuah institusi yang bernama lembaga pendidikan dibangun, tidak melulu sekadar untuk meraup keuntungan seperti yang pernah disitir bahkan disindir oleh Freire sebagai business institution.
Lembaga pendidikan adalah tempat penggemblengan—baik para peserta didiknya ataupun para pendidiknya sendiri—berbagai disiplin ilmu dan pengetahuan yang, tentu saja selain merupakan kebutuhan naluriah manusia, juga merupakan penopang utama sebuah peradaban, selain budaya dan agama tentunya. Seperti termaktub dalam Kitab suci Al-Qur‟an atau(pun) dalam Al-Hadits, bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban setiap pribadi, maka lembaga pendidikan adalah sebuah institusi yang sistemik untuk memenuhi kewajiban tersebut: walaupun pada dasarnya yang dimaksud dengan tholabul ’ilmi itu tidak melulu harus di—atau dalam—lembaga pendidikan. Menuntut ilmu itu tidak harus selalu dalam sebuah wadah yang bernama lembaga pendidikan, bahkan Emha Ainun Nadjib—yang lebih populer dengan panggilan Cak Nun—pernah menulis bahwa: universitas yang paling jujur dan paling lengkap adalah terminal dan pasar.
Menurutnya: di terminal, di pasar, kita bisa mendapatkan berbagai disiplin ilmu, mulai dari ilmu berdagang, ilmu berhitung, hingga ilmu menipu dan ilmu mencopet. Memang bisa juga demikian. Dalam artian: kita setuju hal itu untuk dan dari satu atau beberapa segi, dan tidak berarti menyetuinya sebagai kebenaran yang tak terbantahkan karena seperti kita tahu bahwa Junjunan kita Nabi Muhammad saw. pernah bersabda: “tempat berkumpulnya setan dan iblis adalah pasar.”
Sedemikian penting lembaga pendidikan dalam kehidupan kita, sehingga dalam keseharian dan dalam pedalaman kita masing-masing telah terpancang kesadaran, barangkali sejak kanak-kanak; sejak kita belum mengerti apapun yang ada di luar dan di sekitar kita selain hal-hal yang terlihat, tercium dan teraba oleh indra kita; sejak bahkan dalam benak kita tak ada hal lain yang lebih menyenangkan selain main, mainan dan permainan, bahwa belajar atau menuntut ilmu di sebuah lembaga pendidikan adalah sebuah kewajiban. Ungkapan yang lebih sederhana: sekolah itu wajib. Bahkan tak ada yang lebih wajib dari sekolah. Tak ada yang lebih utama dari sekolah. Hingga, sebegitu wajibnya sekolah, kita rela untuk mengesampingkan hal-hal lain yang kita anggap tidak lebih penting dari sekolah. Kita, misalkan, rela untuk mengurangi jatah makan kita supaya anak-anak kita tetap pergi ke sekolah untuk mendapatkan ilmu fisika yang, tentu saja, belum tentu dapat kita jadikan lauk-pauk sebagai sahabat baik nasi yang masuk ke dalam perut kita.
Ya, demikianlah, kesadaran begitu, atau seperti begitu memang ada baiknya. Sebab, bagaimanapun, yang sulit adalah kesadaran. Tapi kemudian betapa memilukan ketika kita menyadari: apa yang hendak kita capai dari kerelaan itu adalah materi belaka. Ketika kita menyekolahkan anak-anak kita dengan tujuan agar kelak anak kita tersebut menjadi orang, bukan karena kewajiban yang telah ditetapkan oleh agama kita. Sehingga, ketika kita memilih dan memilah suatu lembaga pendidikan, pertanyaan yang paling pertama dalam benak (pikiran) kita adalah: “nanti kalau sekolah di sini, kerjanya di mana?” atau, “kalau sudah selesai sekolah, jadi apa?” dan sebagainya. Dan bukan pertanyaan: “kalau sekolah di sini, apa anak saya akan rajin sholat?” atau “kalau sudah selesai sekolah, manfaat apa bagi masyarakat sekitar?” Bukankah ini menyedihkan?
Terlepas dari menyedihkan atau tidaknya ketika kita tidak memunyai kesadaran demikian, sebagai mahluk yang diciptakan dengan segala kesempurnaan—bahkan ketidaksempurnaan yang ada pada diri kita pada hakikatnya adalah bagian dari kesempurnaan itu sendiri—berpegang teguh pada ajaran dan tuntutan Al-Qur‟an yang diwahyukan melalui RosulNya adalah sesuatu yang mutlak adanya. Maka, sebuah lembaga pendidikan dengan atau tanpa syarat dan prasyarat apapun harus diharapkan berbasis akidah. Dan tanpa pengecualian apapun, akidah haruslah sebagai basis hingga tataran rinci. Akidah, berikut kaidah Islam yang sejalan dengan Qur‟an dan Sunah tentunya, sejak formulasi berupa silabus pembelajarannya hingga metode yang diterapkan; sejak materi pelajaran hingga kegiatan belajar mengajarnya, haruslah berlandaskan akidah (Al Qur‟an dan As Sunnah); sejak pengenalan bahan-bahan pelajaran dan pengajaran hingga penerapan dan penyerapan pada peserta didik sekaligus pendidiknya—pada bagian ini saya tidak memisah dan memilahkankan pihak yang dididik dengan pihak yang mendidik, karena: pembelajaran mensyaratkan kejasama antar kedua pihak tersebut. Pembelajaran haruslah merupakan sinergi yang ideal antara keduanya, bahkan berbagai pihak lain yang juga terkait, seperti: sarana pedidikan, lingkungan, gaya hidup, dan banyak lagi hal lainnya—terutama kurikulum, lagi-lagi.
Dengan kata lain, pembelajaran yang lebih rinci yang berbasis akidah haruslah kaffah, menyeluruh tidak hanya sebagai jargon-jargon kosong seperti yang kini kebanyakan lembaga pendidikan menerapkannya sebagai visi dan misi. Hal ini terkait dengan kenyataan bahwa: di sekolah-sekolah umum, kini pembelajaran Agama makin terpojok oleh hal-hal lain yang justru sepele, bahkan malah lebih menjauhkan para peserta didik(siswa)nya dari tuntunan agama (Islam)
Bagaimanapun, hal-hal yang menjauhkan anak-anak didik kita dari tuntunan agama, kini lebih mudah dijumpai ketimbang hal-hal yang mendekatkan ke kebaikan menurut ajaran Agama (RisalahNya); sedang stimuli ke arah kemaksiatan sedemikian maraknya, sehingga para ahli menafsirkannya sebagai konsekwensi logis dari modernitas. Tanpa menafikkan keunggulan-keunggulan para pendidik kita terdahulu, yang telah bergiat memformulasikan kurikulum di dunia pendidikan, kita tentu saja mafhum bahwa kegagalan-kegagalan formulasi tersebut adalah manusiawi. Kegagalan-kegagalan tersebut terbukti dengan kenyataan keberadaan generasi terkini yang sudah sama-sama kita saksikan: bagaimanapun, generasi kini, tak bisa kita sangkal, adalah hasil didikan generasi terdahulu.
Kita ingat kurikulum terdahulu yang lebih mengutamakan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif)—di kampung saya diplesetkan dengan: Cul Budak Sina Anteng (membiarkan anak didik asyik sendiri)—telah menghasilkan generasi kini. Generasi yang carut-marut, generasi tanpa pegangan, generasi pengekor, penjiplak, penjilat, dan lain sebagainya—yang terlalu riskan saya sebutkan di sini. Tentu saja kita tidak berhak menyalahkan dan mempersalahkan para pendahulu kita sebagai pemformulasi kurikulum yang gagal tersebut, karena tidak menutup kemungkinan: generasi yang akan datang (generasi kelak) pun akan menemukan dan merasakan bagaimana ketidakberhasilan kurikulum yang kini sedang berlaku, yaitu KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi)
4—seorang teman pendidik di seberang sana pernah berkelakar, memplesetkannya menjadi: Kurikulum Bingung Kabeh (kurikulum yang membingungkan semua pihak). Karena pada dasarnya, Kurikulum ini pun tidak berdasar akidah dan tidak bersumber Al-Qur‟an dan As-Sunnah. O ya, katanya ada lagi KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), dan yang paling mutakhir adalah kurtilas (Kurikulum 2013)...trus apa lagi? Yap, tentu saja kita sangat mengharapkan generasi mendatang adalah generasi yang lebih baik dari kini. Generasi yang terdidik dengan baik untuk tetap bisa bertahan mempertahankan akidah dan ahlak yang baik dan sesuai dengan syar’i. Generasi yang mampu bangkit sekalian mendobrak segala kebobrokan yang sudah terlanjur mengakar ini, dan mampu melahirkan generasi berikutnya yang juga lebih baik lagi. Insyaalloh. Dan hal utama dari semua yang kita harapkan itu adalah formulasi pendidikan yang berdasarkan akidah, tauhid. Karena tentu saja lembaga pendidikan yang berbasis akidah bertujuan mencetak pribadi-pribadi yang ber-ahlaqul karimah: pribadi-pribadi yang berpegang teguh pada Qur‟an dan Sunnah pula, pribadi-pribadi sebagai generasi yang mampu menjawab tantangan zaman di kemudian hari. Dan sebagai jawaban atas semua dan segala yang telah terpaparkan tadi, tiada lain—tanpa menafikkan lembaga-lembaga pendidikan di luarnya dan selainnya— maka pesantrenlah.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang bukan saja mampu menelurkan pribadi-pribadi unggul dalam hal keilmuan—melainkan juga keimanan. Karena pesantren adalah—kalau boleh mengungkapkan ini—satu-satunya lembaga pendidikan yang berpotensi dan berkompetensi untuk mencetak pribadi-pribadi mengagumkan yang ber-aklaqul karimah. Dan pesantren, bagaimanapun adalah sebuah institusi yang asli, produk dalam negeri, lho! Maka, inilah satu-satunya jalan menuju „jalan lurus‟ itu: karena hanya di—dan dari—pesantrenlah segalanya dapat beranjak sekaligus berawal untuk menuju mardhotillah. Menuju ke peradaban yang benar-benar beradab. Dan, membangun Peradaban Pesantren di rumah kita adalah awal yang bijak, semoga.
Wallohu ’alam bishowab.
Dengan tulisan ini saya tidak bermaksud untuk mencoba menelaah sebuah atau suatu institusi yang bernama pesantren1 dan/atau mencoba mengkaji suatu pesantren tertentu: tulisan ini, paling tidak, dicukupkan sebagai sebuah pertanyaan ulang akan keberadaan institusi yang sudah kita kenal sebagai lembaga pendidikan. Dan, karena keterbatasan ruang yang tersedia, tulisan ini hanya akan menyoal sejauh mana lembaga pendidikan—yang populer dengan nama sekolah—berpengaruh terhadap individu-individu yang berkaitan dengannya, yang—baik secara langsung maupun tidak.
“Bacalah segala yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Qur’an dan dirikanlah sholat. Sesungguhnya sholat itu mencegah(mu) dari berbuat dengki dan munkar. Dan sesungguhnya mengingat Alloh (sholat) itu lebih besar keutamaannya (dibanding ibadah-ibadah yang lain). Dan Alloh mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan.”(Al-Ankabut, 45)
1 Komentar
bagian yang cetak miring itu seharusnya paragraf awal, dan kutipan ayat ada di atas. Terima kasih
BalasHapus